Sumber : http://www.pacific.net.id/pakar/sj/permasalahan_blbi.html
PERMASALAHAN BLBI
Oleh : J. Soedradjad Djiwandono
Gurubesar tetap Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia
BLBI
merupakan fasilitas dari Bank Indonesia untuk menjaga kestabilan sistim
pembayaran dan sektor perbankan agar jangan terganggu karena ketidak seimbangan
(mismatch) antara penerimaan dan penarikan dana pada bank-bank, baik jangka
pendek maupun panjang. Dalam operasinya ada bebagai jenis fasilitas likuiditas
bank sentral kepada sektor perbankan dengan persyaratan yang berbeda, sesuai
dengan sasaran maupun peruntukannya. Karena jenis failitas yang beragam ini
secara umum dapat dikatakan bahwa BLBI adalah fasilitas likuiditas BI yang
diperikan kepada bank-bank diluar kredit likuiditas Bank Indonesia atau KLBI.
Meskipun
bantuan likuiditas untuk menghadapi masalah perbankan ini sudah ada dan
dipergunakan sejak lama, istilah bantuan likuiditas BI atau BLBI baru
digunakan oleh Bank Indonesia sejak tahun 1998. Istilah ini muncul semenjak
Indonesia menjalankan program pemulihan ekonomi dengan dukungan IMF yang
menyebutkan berbagai fasilitas tadi sebagai liquidity supports. Untuk
membedakan dengan KLBI yang lebih dikenal secara umum dan sebagai terjemahan
dari liquidity support telah digunakan istilah bantuan likuiditas Bank
Indonesia atau BLBI.
Pada
dasarnya BLBI terdiri atas 5 jenis fasilitas sebagai berikut:
- Fasilitas dalam
rangka mempertahankan kestabilan sistim pembayaran yang bisa
terganggu karena adanya mismatch atau kesenjangan antara penerimaan
dan penarikan dana perbankan, baik dalam jangka pendek disebut fasilitas
diskonto atau fasdis I dan yang berjangka lebih panjang, disebut fasdis
II.
- Fasilitas dalam
rangka operasi pasar terbuka (OPT) sjalan dengan
program moneter dalam bentuk SBPU lelang maupun bilateral
- Fasilitas dalam
rangka penyehatan (nursing atau rescue) bank dalam bentuk
kredit likuiditas darurat (KLD) dan kredit sub-ordinasi (SOL)
- Fasilitas untuk
menjaga kestabilan sistim perbankan dan sistim pembayaran sehubungan
dengan adanya penarikan dana perbankan secara besar-besaran (bank
run atau rush) dalam bentuk penarikan cadangan wajib (GWM)
atau adanya saldo negatif atau saldo debet atau overdraft rekening
bank di BI
- Fasilitas untuk mempertahankan
kepercayaan masyarakat pada perbankan dalam bentuk dana talangan untuk membayar
kewajiban luar negeri bank dan untuk pelaksanaan sistim penjaminan (blanket
guarantee).
MASALAH
BLBI
Komponen
terbesar dari BLBI adalah bantuan likuiditas Bank Indonesia yang diberikan
kepada bank-bank yang menghadapi masalah penarikan dana pada bank-bank oleh
nasabah secara besar-besaran dan bersamaan, berkaitan dengan krisis yang
melanda perekonomian nasional. Akan tetapi BLBI juga menyangkut berbagai
fasilitas BI kepada bank-bank dalam bentuk lain sebagaimana secara rinci
disebutkan di atas. Bantuan likuiditas yang dipertanyakan proses penyaluran
dan pemanfaatannya serta dipersoalkan pembebanan pembiayaanya ini telah menjadi
masalah yang banyak dipergunjingkan di masyarakat.
Masalah
ini lebih mencuat lagi setelah diumumkannya hasil audit BPK terhadap Bank
Indonesia yang memberikan suatu disclaimer, artinya BPK tidak bersedia
memberikan pendapat karena berbagai hal, seperti lemahnya pengawasan intern dan
pembukuan yang tidak beres. Audit BPK juga secara spesifik dilakukan terhadap
BLBI. Dalam testimoni Gubernur BI dengan Komisi IX DPR telah disepakati untuk investigative
audit tentang BLBI.
BLBI
DALAM KEADAAN NORMAL
- Dalam keadaan
normal, suatu bank meskipun dalam keadaan sehat dapat saja menghadapi
masalah adanya kesenjangan antar aliran dana yang harus dibayarkan dengan
yang diterima di dalam menjalankan fungsinya sebagai perantara keuangan
dalam sistim pembayaran sebagai. Aliran dana itu harus dilaksanakan sebagai
pembiayaan transaksi yang terjadi dalam perekonomian. Keadaan likuiditas
bank demikian disebut sebagai suatu mismatch, artinya suatu
kesenjangan yang timbul karena tagihan terhadap bank tersebut
(liabilities) lebih besar dari hak untuk dibayar (assets) pada hari
dilakukan pencatatan.
- Hak menerima
bayaran dan kewajiban membayar harian yang terjadi karena transaksi
yang dibayar melalui dokumen ( non-cash payments) dengan
perantaraan perbankan setiap hari kerja dicocokkan melalui proses kliring,
yang di Indonesia dilaksanakan oleh lembaga kliring. Di Indonensia kliring
dilaksanakan oleh BI serta dalam hal-hal tertentu oleh bank-bank yang
ditunjuk BI. Dalam sistim pembayaran nasional pembayaran dilakukan selain
melalui cara ini juga melalui cara tunai, menggunakan uang.
- Setiap hari
bank-bank perserta kliring harus mencek bagaimana posisinya pada waktu
kliring. Suatu bank yang pada waktu kliring, pencocokan hak dan kewajiban
bayar membayar tadi akan mengetahui apakah posisinya positif atau negatif.
Bagi suatu bank, kalau hak tagihnya lebih kecil dari kewajiban membayarnya
menurut dokumen yang dimasukkan proses kliring dikatakan mengalami kalah
kliring. Seperti di atas dikatakan suatu bank, termasuk yang
kondisinya sehat, suatu hari bisa saja mengalami kalah kliring. Ini
suatu istilah yang banyak disalah artikan di masyarakat, seolah-olah suatu
bank yang kalah kliring itu otomatis menghadapi masalah hidup matinya
bank. Ini tidak benar. Kalah kliring adalah suatu hal yang biasa, karena
posisi netto dari hak dan kewajiban harian tadi tidak selalu persis sama
besar, tergantung dari transaksi yang dilayani hari tersebut. Tentu saja
kalau dalam periode yang berkepanjangan bank terus menerus mengalami kalah
kliring, ini memang menandakan adanya masalah yang lebih dalam dari posisi
likuiditas, mungkin secara struktural bank ini bermasalah.
- Suatu bank yang
menghadapi kalah kliring harian dalam keadaan normal akan
mengatasinya dengan cara-cara sebagai berikut;
(i).
Menutup kekalahan dengan menggunakan dananya sendiri, baik yang disimpan
dibanknya atau yang disimpan di BI. Sejak tahun 1995, bersamaan dengan
perubahan ketentuan tentang besarnya dan cara menghitung jumlah minimal giro
wajib bank atau giro wajib minimum (GWM), bank-bank diharuskan menyimpan giro
wajib pada BI. Untuk kehati-hatiannya bank-bank biasanya mempunyai giro yang
lebih besar dari kewajian minimumnya (5% dari dana pihak ketiga sejak 1996).
(ii)
Menutup kekurangan tersebut dengan mencari pinjaman dari bank lain dalam
pasar uang antar bank (PUAB) dengan suku bunga yang berlaku di pasar. Suku
bunga pasar uang antar bank ini untuk bank-bank yang dianggap bonafide di
Jakarta, sejumlah 21 bank yang relatif besar, disebut suku bunga JIBOR (Jakarta
inter-bank offer rate). Untuk bank-bank diluar mereka ini biasanya suku bunga
lebih tinggi lagi. Semakin suatu bank dianggap rendah bonafiditasnya diantara
mereka semakin tinggi suku bunga yang harus dibayar untuk pinjaman antar bank
ini.
(iii)
Kalau dari sumber-sumber tersebut tidak diperoleh, apapun alasannya, maka jalan
yang ditempuh adalah minta menggunakan fasilitas BI yang digunakan untuk
menghadapi masalah ini. Fasilitas yang tersedia adalah yang disebutkan pertama
di atas, Fasdis I atau Fasdis II yang berbeda dalam jangka waktu dan
persyaratannya.
- Dalam keadaan
normal bank sebenarnya tidak suka meminta BI untuk menggunakan fasilitas
diskonto.
Mengapa? Karena dalam keadaan normal hal ini dipandang sebagai tindakan
yang menunjukkan kelemahan bank yang bersangkutan kepada bank-bank lain,
bahwa bank tersebut tidak dipercaya meminjam dana jangka pendek dari
sesama bank. Ini merupakan suatu tabu. Selain itu suku bunga fasilitas
diskonto ini lebih tinggi dari suku bunga pasar antar bank, karena
mengandung unsur hukuman atau penalty, agar bank tidak mudah menggunakan fasilitas
ini. Ini menjaga timbulnya moral hazard. Bisa dibayangkan kalau
bank-bank dapat memperoleh dana murah dari bank sentral, tentu BLBI ini
jumlahnya lebih besar lagi tanpa terjadinya krisis. Jadi suku bunga BLBI
itu lebih mahal dari suku bunga pasar uang antar bank (PUAB). Di sini
nampaknya sering terdapat salah pengertian di masyarakat. Seolah-olah BLBI
ini seperti kredit likuiditas BI untuk program-program Pemerintah melalui
KLBI yang suku bunganya lebih rendah dari suku bunga pasar. Ini tidak benar,
karena suku bunga BLBI selalu lebih tinggi dari suku bunga pasar antar
bank.
- Jadi dalam keadaan
normal, bank yang kalah kliring dapat mencari dana untuk menutup
kekurangan likuiditasnya dengan meminjam dari bank lain pada pasar uang
antar bank dengan suku bunga yang berlaku, JIBOR untuk bank-bank yang
kondisinya baik dan dikenal baik sesama bank. Akan tetapi untuk bank-bank
lain, bank-bank kecil, biasanya harus membayar bunga yang jauh lebih besar
dari suku bunga yang berlaku bagi bank-bank besar yang tergabung dalam
JIBOR ini. Karena pinjaman ini hanya untuk jangka waktu sangat pendek,
suku bunga pinjaman antar bank ini lebih tinggi dari yang berlaku untuk
pinjaman kepada nasabah biasa dari bank.
BLBI
DALAM MASA KRISIS
- Semenjak gejolak
moneter mengenai Indonesia pertengahan Juli 1997, maka sebagai implikasi
dari kebijakan moneter yang ditempuh terjadi keketatan likuiditas
perekonomian. Ini terjadi terutama setelah pengambangan rupiah medio
Agustus 1997. Keketatan likuiditas merupakan implikasi dari tindakan
mempertahankan nilai rupiah melalui kebijaksanaan fiskal (menahan
pengeluaran rutin), kebijakan moneter (penghentian pembelian SBPU oleh BI
akhir Juli 1997 dan peningkatan suku bunga SBI sampai lebih dari dua kali
lipat minggu ketiga Agustus 1997), ditambah dengan suatu tindakan yang
merupakan gebrakan moneter (pengalihan deposito berbagai BUMN dan Yayasan
menjadi SBI). Ini merupakan permulaan terjadinya dampak negatif krisis
terhadap sektor perbankan.
- Proses
terjadinya mismatch likuiditas perbankan dan jalan yang ditempuh perbankan
sampai terjadinya pemberian BLBI mungkin dapat digambarkan sebagai
berikut: Semula, terjadi proses pengalihan dana perbankan dari bank
yang satu ke yang lain. Bank-bank yang mengalami penarikan dana nasabah
secara besar-besaran menghadapi masalah kekurangan likuiditas ini dengan mencari
pinjaman antar bank. Setelah sumber ini menghilang, bank akan
menggunakan dana yang dimilikinya pada BI. Giro bank yang bersangkutan
pada BI berkurang dengan penarikan ini, semula dari dana diluar GWM,
kemudian setelah dana ini hilang, kalau penarikan masih berjalan dihadapi
dengan penyusutan GWM. Kalau penarikan berlanjut, bank yang memang harus
melayani penarikan dana nasabah harus membiayainya dengan mengalami saldo
negatif atau saldo debet atau overdraft pada rekening giro di BI.
- Pelanggaran GWM (kurang dari 5%
atas dana pihak ketiga bank) ini mengandung penalti yang berat, kalau
tidak dibayar akan menjadi hutang bank kepada BI. Jumlah bank yang
melanggar ketentuan GWM ini membengkak dengan berjalannya krisis. Sebagai
contoh pda bulan Agustus 1997, pelanggaran ketentuan GWM, artinya giro
bankbank pada BI yeng menurun dibawah 5% dari dana pihak ketiga, terjadi
terhadap 14 bank pada tanggal pengumuman pengambangan rupiah (14/8/97) dan
menjadi 51 pada akhir Agustus 1997. Setelah krisis terjadi memang ada yang
menyalahkan kebijakan Pemerintah mengambangkan rupiah.
- Pasar uang antar
bank menjadi lebih terkotak-kotak, bank yang masih mempunyai
kelebihan likuiditas harian tidak bersedia melepas likuiditasnya di pasar
uang antar bank. Likuiditas yang berlebih hanya dilepas kepada bank lain
yang benar-benar dikenalnya dengan suku bunga yang sangat tinggi. Dalam
proses penyelamatan oleh pemiliknya, dana dikeluarkan oleh pemiliknya dari
bank-bank yang dipandang lemah (tidak memberi jaminan keamanan dana)
kepada bank-bank yang dianggap kuat atau apa yang dikenal sebagai flights
to safety, bank-bank Pemerintah, bank-bank swasta besar dan bank-bank
asing yang dianggap aman memperoleh tambahan likuiditas atas kerugian
bank-bank yang dianggap lemah.
- Adanya
kompartmentalisasi atau segmentasi pasar uang antar bank ini menyulitkan
pengelolaan likuiditas maupun pengendalian sistim pembayaran oleh Bank
Indonesia. Suku bunga antar bank yang tidak mengalami masalah likuiditas
tidak terlampau tinggi, sebaliknya dengan suku bunga antar bank yang
mengalami keketatan likuiditas. Dalam keketatan likuiditas sekitar
September 1997 sementara bank harus membayar suku bunga setinggi 200% per tahun,
bahkan lebih tinggi lagi untuk memperoleh dana guna menutup kekurangan
likuiditasnya. Akan tetapi suku bunga JIBOR tidak terlampau tinggi
meningkatnya. Ini menimbulkan masalah dalam implemantasi program
moneter antara otoritas moneter dengan IMF pada akhir Nopember dan selama
Desember 1997. IMF mendesak ditingkatkannya suku bunga karena yang
diamati adalah perkembagan suku bunga JIBOR yang tidak banyak bergerak
karena diantara bank-bank yang dianggap aman oleh pemilik dana ini memang
tidak ada masalah likuiditas. Padahl untuk bank-bank lain, bank-bank kecil
dan menengah kebannyakan mengalami masalah. Ini implikasi dari sekmentasi
atau kompartmentalisasi pasar uang antar bank.
- Sebagian bank
tidak dapat memperoleh akses likuiditas dari pasar, padahal mengalami
masalah mismatch likuiditas. Bank-bank inilah pada dasarnya yang terpaksa
lari ke BI untuk mengajukan permintaan bantuan likuiditas. Bank-bank yang
dalam posisi demikian menjadi semakin banyak dengan berjalannya krisis
moneter yang terus belangsung.
- Setelah
pelanggaran ketentuan GWM, karena penarikan dana perbankan berlanjut maka
bank-bank mengalami saldo debet atau saldo negatif pada rekening
giro mereka di BI. Bank yang mengalami saldo negatif pada akhir 1997
tercatat sebanyak 29. Sebagaimana digambarkan di atas, ini terjadi melalui
proses kliring yang menghitung segala tagihan dan pembayaran yang setelah
digabungkan atau dinetokan (netting) maka suatu bank akan mempunyai
posisi kalah kliring atau sebaliknya, atau saldonya nol kalau tagihan dan
pembayaran ternyata berimbang. Kalau sumber-sumber lain untuk menutup
kekalahan kliring tidak ada, maka bank tersebut dapat mempunyai saldo
negatif pada rekening gironya di BI.
- Selain saldo
negatif pada rekening giro bank-bank di BI bentuk BLBI lain adalah dana
talangan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran sebagai implikasi dari
janji Pemerintah memberi perlindungan pada deposan kecil pada bank yang
dicabut ijin usahanya, sesuai Kebijakan Pemerintah 3 September 1997. Dalam
rangka pencabutan ijin usaha 16 bank bulan Nopember 1997 BI membiayai pengembalian
dana deposan sampai dengan Rp 20 juta untuk masing-masing rekening,
yang merupakan dana talangan. Selain itu juga dilakukan pembayaran kepada
pemilik deposito dan tabungan diatas Rp 20 juta pada minggu ketiga
Pebruari 1998.
- Setelah krisis
bekelanjutan bahkan lebih memburuk dalam arti ancaman hilangnya sama
sekali kepercayaan terhadap perbankan, maka atas usul IMF dalam kelanjutan
dari negosiasi untuk LOI kedua, Pemerintah pada akhir Januari 1998 menerapkan
suatu sistim yang memberi jaminan kepada bank nasional Indonesia yang
mencakup keseluruhan kreditur dan deposito serta tabungan bank, dikenal
sebagai blanket guarantee. Dana yang digunakan untuk kepentingan
ini juga merupakan bagian dari BLBI.
- Selain itu,
dalam rangka kesepakatan Frankfurt bulan Juni 1998 mengenai
pinjaman swasta, BI memberikan talangan untuk membayar pinjaman perbankan
jangka pendek yang jatuh tempo waktu itu ( trade financing dan
interbank detb arrears) dan untuk kelancaran pembukaan L/C diberikan
jaminan pembiayaan perdagangan internasional.
BANTUAN LIKUIDITAS BANK INDONESIA (
BLBI )
|
Jenis
|
Jangka waktu
|
Suku Bunga
|
Peruntukan
|
Keterangan
|
1
|
Fasilitas
Diskonto I
|
2
hari
|
|
|
Tak
berlaku lagi
|
2
|
Fasilitas
Diskonto II
|
90
hari
|
|
|
Tak
berlaku lagi
|
3
|
Kredit
Likuiditas
Darurat
|
6
bulan
|
16%/tahun
|
Penyehatan
bank
|
Tak
diberikan lagi
|
4
|
Kredit
Subordinasi
|
20
tahun
|
6%
capping
|
Penyehatan
bank
|
Tak
diberikan lagi
|
5
|
SBPU
Lelang
|
3
bulan
|
Diskonto
2% di atas SBI bilateral
|
Pelonggaran
likuiditas
|
|
6
|
SBPU
tanpa lelang
|
3
minggu sampai 3 bulan
|
Rata-rata
tertimbang diskonto SBI lelang terakhir
|
Memenuhi
kebutuhan likuiditas harian
|
|
7
|
Saldo
giro negatif/debet
|
Kondisi
hari terjadi saldo debet
|
125%
dari rata-rata JIBOR
|
Menjaga
kestabilan sistim perbankan
|
|
8
|
Fasilitas
DiskontoI Repo
|
7
hari
|
Diskonto
28%
|
Membantu
bank sehat yang tidak memiliki SBI tetapi kesulitan likuiditas
|
|
9
|
SBPU
Khusus
|
3
s/d 18 bulan
|
Diskonto
27%/tahun
|
|
Pengalihan
Fasdis I repo, Fasdis II repo dan saldo deb
|
10
|
Fasilitas
Diskonto
|
1
bulan
|
125%
dari rata-rata JIBOR overnight satu bulan sebelumnya
|
Menutup
pelanggaran GWM atau mengantisipasi saldo giro negatif
|
|
11
|
Fasilitas
dana talangan bank likuidasi dan bank dibekukan
|
|
|
Pembayaran
terhadap nasabah bank likuidasi dan BBO
|
|
12
|
Jaminan
Pem terhadap kewajiban pembayaran bank umum
|
|
|
Blanket
guarantee
|
Sejak
26/1/98 s/d 31/1/2000
|
13
|
Jaminan
Pem thd. Kewajiban pembayaran BPR
|
|
|
Banket
guarantee
|
26/1/98
s/d 31/21/2000
|
14
|
Dana
talangan untuk pembayaran kewajiban l.n bank dalam rangka trade finance dan
inter bank debt arrears
|
Maksimum
2 bulan
|
Valas:
LIBOR 1 tahun + 10%
Rupiah
SBI 1 tahun +2%
|
Pulihkan
kepercayaan thd perbankan nasional
|
Pembayaran
setelah 30/6/98
|
15
|
Jaminan
pembiayaan perdagangan internasional
|
|
|
Untuk
menggairahkan kembali perdagangan internasional
|
|